Saat saya tengah membaca hairan Republika yang baru saja saya beli, perhatian saya tiba-tiba tertuju pada sebuah berita. Di tengah permasalahan nasional yang membuat saya jengah, ada sebuah berita yang benar-benar menginspirasi. Yakni tengah didirikannya sebuah kota peradaban di madinah yang nantinya akan menjadi tempat wisata religius, pusat aktivitas intelektual, sekaligus sentra bisnis dan ekonomi berbasis pengetahuan. Kota itu bernama KEC (Knowledge Economic City). (beritanya bisa dibaca di sini)
Wow! Kota itu benar-benar kota yang saya impikan. Tiga kata kunci yang memang saya sukai: Spiritual-Religius, Peradaban-Intelektual, dan Ekonomi-Bisnis. Berita itu membuat saya berkaca pada realitas di Indonesia. Dimana ada gap yang cukup timpang antara kalangan intelektual dan bisnis. Seakan-akan keduanya tidak bisa bersinergi. Nah, saya akan coba memberikan solusinya.
Saya melihat, sebenarnya kalangan intelektual bangsa Indonesia sangatlah potensial untuk memanfaatkan pengetahuannya, khususnya untuk bisnis. Lihat saja! Berapa banyak para pemuda yang memenangi berbagai ajang internasional? Berapa banyak Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, dan berbagai pusat intelektual dibangun? Banyak bukan? Itulah modal kita.
Secara jumlah memang banyak, tapi kalau secara rasio belum. Karena negara kita ini memiliki keluasan wilayah dan kepadatan penduduk yang sangat wah. Sehingga yang perlu kita lakukan adalah memeratakannya.
Mengambil inspirasi dari pelajaran geografi yang saya pelajari di SMA bahwa pembangunan di pusat kota akan menyebar ke wilayah sekitarnya seperti yang dialami Bodetabek (Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) terhadap pembangunan di Jakarta. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh setiap pemuda dan pusat intelektual di Indonesia untuk memeratakannya.
Mereka tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga cerdas sosial. Misi belajar mereka bukan hanya mengejar nilai, tetapi juga berbagi pengetahuan dalam bingkai kebermanfaatan. Mereka tidak hanya mempersembahkan medali kemenangan, tetapi juga solusi kehidupan yang siap digunakan lingkungan sosial di sekitarnya. Pemuda-pemuda itu menjadikan riset sebagai kegiatan utamanya, terjun ke masyarakat sebagai kebiasaanya, dan bisnis sebagai orientasi karirnya.
Aksi ini saya namakan sebagai Ekspansi Intelektual. Kata 'Ekspansi' mencitrakan karakter aktif dan agresif para pemuda intelektual dalam misi pencerdasannya. Bayangkan! Jika setiap Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, dan berbagai pusat intelektual itu mampu mencerdaskan dan memberdayakan lingkungan sekitarnya, layaknya penyebaran pembangunan yang terjadi di Jabodetabek. Apakah Indonesia Cerdas masih akan sebatas impian?
Poin lain yang juga saya soroti adalah tentang bisnis. Tapi bukan bisnis kapitalistik seperti di barat sana. Karena karakter ekonomi bangsa Indonesia adalah ekonomi kerakyatan yang mengambil fokus pada pemberdayaan masyarakat. Begitulah seharusnya pemuda intelektual. Mereka berani mandiri dengan berbisnis, tetapi menjadikan pemberdayaan masyarakat sebagai misi.
Mereka akan mencerdaskan masyarakat dengan pengetahuan. Mereka akan memotivasi masyarakat tentang semangat kemandirian. Mereka akan memberdayakan masyarakat dengan bisnis berbasis pengetahuan.
Ayolah para pemuda! Mari wujudkan Indonesia cerdas dan mandiri dengan melaksanakan: Ekspansi Intelektual dan Bisnis Berbasis Pengaetahuan.
0 komentar:
Posting Komentar