Semua yang pernah membandingkan pendidikan di Indonesia dan negara maju, tahu benar bahwa beban pendidikan di Indonesia jauh lebih berat dari negara maju sekelas Amerika, Eropa Barat atau Jepang.
Lucunya, sudah beban pelajar Indonesia lebih berat dari negara maju, kualitas lulusan kita jauh di bawah negara-negara maju.
Tanpa perlu penyelidikan yang mendalam tentu dengan mudah kita bisa simpulkan ada yang salah dengan kurikulum pendidikan kita.
Terlalu banyak yang ingin diajarkan, tapi tidak tahu prioritas, sehingga yang tidak perlu justru dimasukkan dalam kurikulum , yang perlu justru tidak dimasukkan.
Cara yang termudah untuk menyelematkan generasi kita ya kurikulum harus diubah, tapi masalahnya, solusi yang sebenarnya mudah ini justru sulit sekali.
Tidak mudah bagi pembuat kebijakan pendidikan menemukan kata sepakat.Lalu bagaimana? Apa kita mau pasrah biarkan anak-anak menjadi korban?
Tentu saja, dalam keadaan ini, orang tua tidak mau anak-anaknya gagal di dunia pendidikan, guru juga tidak mau murid-muridnya gagal.Bahwa kurikulum kita tidak ideal, sudah tidak diragukan.
Kini tantangannya bagaimana agar anak-anak tetap mendapatkan yang terbaik dari kondisi yang tidak ideal tersebut.
Saya sendiri menyarankan untuk guru dan orang tua mulai membuat sistem pengajaran yang integral.
Maksudnya, ketika anak belajar satu mata pelajaran mereka tanpa sadar belajar mata pelajaran lain. Sehingga dalam satu waktu dua pelajaran terlampaui.
Tapi ingat mata pelajaran utama tetap fokus sedangkan info tambahan hanya sekedar percikan informasi pengetahuan.
Jika tersistematisasi secara integral, maka otak tak sadar anak akan menerima pelajaran dengan mudah tanpa stres, dan akrab dengan informasi baru.
Saya akan beri contoh konsep sinkronisasi ini.
Misalnya:
Matematika dan sejarah.
Soal matematika (kelas 2 SD)
Di kebun Ani ada apel sebanyak 1830 buah sedangkan di kebun Arif ada 1825 buah apel. Berapa selisih buah yang dimiliki Ani dan Arif? (jawabannya 5)
Soal matematika yang sama dengan pendekatan sinkronisasi
Perang Diponegoro berlangsung dari tahun 1825 sampai 1830, berapa lama perang Diponegoro berlangsung? (Jawaban 5 tahun - pembulatan)
Baik soal pertama atau kedua, sama-sama soal cerita tentang pengurangan, tapi soal kedua memberi info baru. Mungkin anak-anak bertanya, siapa Diponegoro, dari mana, dsb. Biarkan saja itu menjadi interest anak-anak, toh pelajaran matematika tidak harus menjawab tapi jauh lebih berharga infonya dari sekedar Ani, dll.
Tanpa sadar mereka menjadi berminat dengan sejarah padahal itu pelajaran matematika. Nanti ketika mereka sedang belajar sejarah (kelas 5) di beberapa waktu kemudian, otak tak sadar mereka akan berkat, aku pernah dengan Diponegoro.
Matematika dan science
Soal matematika biasa Adi punya uang Rp 90.000 rupiah sedangkan Dani punya uang 110.00o rupiah, berapa persen lebih banyak yang dimiliki Dani.
Soal matematika yang sama, tapi memberi info pengetahuan dan rasa ingin tahu: Sebuah penelitian menujukkan bahwa orang dengan rambut hitam rata-rata mempunyai 110.000 helai rambut di kepala sedangkan orang dengan rambut merah rata-rata hanya mempunyai 90.000 helai rambut. Fakta ini menujukkan bahwa orang dengan rambut hitam mempunyai rambut lebih banyak berapa persen?
Bahasa Inggris dan Science:
Misalnya penggunaan its (possessive form for it:) pemaiakan ....nya
Kita bisa pilih contoh kalimat biasa tanpa info:
I really like the way that car looks, but its price is more than I can afford.
(Saya suka dengan tampilan mobil ini, tapi harganya di atas kemampuan saya)
Atau kita bisa pilih dengan info:
An oyster can change its gender (Kerang bisa mengganti jenis kelaminnya)
A chicken loses its feathers when it becomes stressed (Ayam bisa rontok bulunya kalau sedang stres)
Intinya, kalau kita bisa mengajar 2-3 hal dalam satu waktu kenapa harus membuang waktu untuk satu saja.
Yang penting fokus tetap terjaga dan pengajar atau orang tua kreatif mengembangkan sinkronisasinya.
Kalau dilakukan dengan tepat, pelajaran yang terlihat banyak jadi terasa enteng.
Ini bisa dikombinasikan dalam semua mata pelajaran dalam setiap angkatan kretivitas kita.
Jika semakin banyak yang melakukan maka kita bisa saling tukar pendekatan, maka akan semakin kaya dan memudahkan anak-anak kita.
Mudah-mudahan ini bisa jadi solusi sementara sebelum kurikulum disederhanakan.
Bahkan bisa tetap dijalankan sekalipun kurikulum sudah sederhana sekalipun, karena memudahkan dan mencerdaskan.
Bagaimana menurut Anda?
0 komentar:
Posting Komentar